Kampanye peduli
skizofrenia dari KPSI Yogyakarta dan Akindo.
“Saya cukup prihatin.
Meskipun lagu kebangsaan berkata bangunlah jiwanya, baru bangun badannya, tapi
ternyata keberpihakan itu masih kurang. Kita masih hanya berpikir mati-hidup.
Kematian ibu, kematian bayi. Kalau kita lihat indeks pembangunan kesehatan manusia,
angka gangguan jiwa belum menjadi indikator. (Direktur RSJ Grhasia Etty
Kumolowati)”
Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) telah lama menjadi kota impian tempat tinggal sebagian masyarakat
Indonesia. Nilai kultural yang tinggi didukung banyaknya sekolah dan kampus
berkualitas di wilayah ini membuat DIY patut menyandang status kota budaya dan
kota pendidikan selama puluhan tahun.
Kita
boleh berharap dengan adanya kedua status tersebut, DIY mampu menghasilkan
sumber daya manusia berkualitas, terutama secara kultural dan akademis.
Ironisnya, dua daerah istimewa di Indonesia, yaitu DIY dan Daerah Istimewa Aceh
(DIA), justru menjadi kontributor tertinggi kasus gangguan jiwa berat di
Indonesia.
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menunjukkan, DIY dan DIA memiliki prevalensi gangguan
jiwa berat 2,7 per mil. Kulonprogo menempati kasus teratas dengan prevalensi
4.67, disusul Bantul 4.0, dan Kota Yogyakarta 2.14. Walaupun berada di posisi
keempat, namun Gunungkidul disinyalir memiliki banyak kasus gangguan jiwa yang
tak terungkap. Dari data yang ada dapat diperkirakan ada 2-3 penderita gangguan
jiwa berat di antara 1.000 penduduk DIY. Total jumlah ODGJ di DIY diperkirakan
mencapai 9.862 orang.
Gangguan jiwa berat merupakan
masalah kesehatan yang serius. Butuh waktu lama untuk bisa pulih. Karena itu
pula, jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) cenderung terus bertambah. Data
rutin Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY pada 2015 telah menunjukkan angka sebesar
10.993 ODGJ. Di tahun 2016, jumlah itu menjadi 10.554 orang, belum termasuk
Kabupaten Sleman.
Kepala Dinkes DIY Pembayun
Setyaningastutie mengatakan tingginya kasus gangguan jiwa berat di DIY dan
DIA tak lepas dari bencana alam besar yang pernah terjadi di kedua
wilayah tersebut. Setelah terjadi gempa bumi pada 2010 di DIY, identifikasi dan
pencatatan kasus-kasus potensi terjadinya gangguan jiwa dilakukan oleh
pemerinah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sasaran utama merupakan korban
bencana, khususnya di Bantul, serta masyarakat DIY secara umum.
“Hasilnya, penanganan secara
dini dan recovery mental masyarakat DIY menjadi lebih cepat dan tepat,” kata
Pembayun.
Jika menelisik lebih dalam
lagi, gangguan jiwa berat juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan beban hidup yang
tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Menurut Pembayun, gaya hidup
dapat menjelma menjadi tuntutan sosial yang pada akhirnya menjadi beban hidup
bagi sebagian penduduk yang tak dapat memenuhi.
Sebagai contoh, telepon genggam
menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Di sisi lain, ini juga menjadi mode.
Kepemilikan telepon genggam menuntut kebutuhan baru, baik untuk memenuhi
kebutuhan pulsa, paket data, maupun pembelian unit baru agar tak ketinggalan
zaman. Bagi yang tak dapat mengikuti, ini akan menjadi beban.
Kondisi ini didukung dengan
aspek budaya masyarakat DIY yang terkenal santun. Tak elok menunjukkan beban
kepada orang lain, sehingga banyak dari mereka memilih memendam bebannya
sendiri. Bila tidak kuat, hal ini bisa menjadi potensi timbulnya stres
dan depresi yang dapat berkembang menjadi gangguan jiwa berat.
Ironi lain muncul ketika kita
melihat status DIY sebagai kota pelajar dengan kualitas pendidikan yang tinggi.
Sayangnya, lahan pekerjaan di kota ini tak memadai untuk menampung lulusan
sekolah dan perguruan tinggi yang kian tahun terus bertambah. Ini juga menjadi
salah satu kontributor yang memicu stres atau gangguan jiwa.
Pendapat ini didukung oleh
pernyataan Kepala Dinas Kesehatan (Dinsos) DIY Untung Sukaryadi. Ia mengatakan
modernisasi mendadak yang menimbulkan keguncangan budaya (shock culture) memicu
beban mental bagi sebagian masyarakat. Dengan tingkat intelektualitas yang
belum siap, mereka akhirnya mengalami gangguan jiwa.
“Tekanan keluarga dan
masyarakat itu turunannya. Tekannya malu, nggak kuat batin, sudah kehilangan
muka,” kata dia.
Di Dinsos DIY, warga binaan
lanjut usia (lansia) mendominasi jumlah gelandangan psikotik. Untung mengatakan
keluarga perlu menyadari risiko gangguan jiwa pada lansia. Adanya post power
syndrome merupakan hal wajar yang sering kali luput dari perhatian. Orang tua
yang biasanya mampu memerintah anak-anaknya kini mulai kehilangan kekuasaan.
Bahkan, sebagian dari mereka harus bergantung pada anak dan cucu. Ini
menimbulkan beban psikologis bagi mereka.
Menurut Untung, tingginya kasus
gangguan jiwa di Yogyakarta juga tak lepas dari kontribusi daerah-daerah
sekitar. Jumlah gelandangan psikotik dari luar DIY mencapai 60-70 persen.
Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial dan Korban Napza Baried Wibawa bahkan
menyebutkan 80 persen.
“Tapi
kan karena aspek kemanusiaan, kita tangani. Di kemudian hari cepat kita rujuk,
kita pulangkan,” ujar Untung.
Menurut Untung, ada indikasi
pengalihan tanggung jawab dari daerah-daerah di sekitar DIY. Beberapa indikasi
yang dimaksud, di antaranya kemunculan ODGJ pada saat bersamaan di wilayah
tertentu. Mereka ditemukan di daerah perbatasan, misalnya Jalan Magelang dan
Jalan Godean. Walaupun sudah dilakukan razia rutin, keberadaan mereka seakan
tak pernah habis.
Baried membenarkan keterangan
ini. “Misal di Godean, kadang sudah bersih. Tapi tiba-tiba ada 2-4 orang
ditemukan bersama-sama masih lengkap dengan kresek besar. Pernah juga ada yang
melapor ke saya, ibu rumah tangga. Ada mobil boks yang mengeluarkan orang-orang
ini,” kata Baried.
Padahal, menurut Baried,
sejatinya dalam rapat mitra praja utama yang dihadiri para kepala dinas, telah
ada 10 provinsi yang berkomitmen tidak saling melempar tanggung jawab dalam
penanganan ODGJ. Kesepuluh provinsi itu adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur.
Keterangan ini juga didukung
pengakuan Pendiri Pondok Pesantren (PP) al-Qodir, Cangkringan, Yogyakarta, KH
Masrur Ahmad MZ. Ia mengaku pernah mengikuti mobil yang membawa ODGJ dan
mendapati ada yang dilepaskan dari Solo ke Yogyakarta.
Menurut Masrur, pembuangan
semacam ini berdampak buruk terhadap ODGJ. Pengalaman mereka dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain membuat mereka bingung. Belum lagi bermacam perlakuan
yang mereka dapatkan selama dalam pembuangan. Ini memperparah kondisi mereka,
sehingga semakin sulit disembuhkan. “Orang tidak sakit saja kalau misal tidur
terus dilepas di daerah lain, kan bingung,” kata dia.
Peneliti Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) Sri Idaiani mengakui adanya keterbatasan data untuk mengeksplorasi
lebih lanjut mengapa kasus gangguan jiwa berat di Indonesia tinggi. Sebab,
tidak banyak hasil penelitian tentang gangguan jiwa. Selain membutuhkan waktu
lama, penelitian di bidang ini memerlukan upaya yang intensif. Perlu waktu
lebih lama untuk mendiagnosa gangguan kejiwaan yang dialami seseorang maupun
penyebabnya. Upaya ini juga perlu memerlukan pendekatan yang sangat individual.
Akibatnya,
sulit menjawab dengan pasti mengapa kasus gangguan jiwa berat di DIY paling
tinggi. “Mungkin di sana memang paling tinggi, atau mungkin di sana ada banyak
yang bisa mendeteksi, kesadaran yang lebih tinggi, sehingga ketika ada keluarga
yang terindikasi gangguan jiwa langsung dilaporkan. Sehingga datanya banyak,
padahal mereka itu ya yang aware,” kata Peneliti Kemenkes Sri Idaiani.
Selain itu, di tingkat
kementerian, isu kesehatan jiwa juga belum lama menjadi prioritas. Dahulu titik
berat penanganan kesehatan hanya mengacu pada Tujuan Pembangunan Milenium atau
Millennium Development Goals (MDGs) dan isu pertembakauan. Akhir-akhir ini
kesehatan jiwa mulai mendapat perhatian karena telah masuk dalam standar
pelayanan minimum (SPM). Pada 2014, Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa disahkan. Dalam Indikator Keluarga Sehat 2016 juga disebutkan
bahwa ODGJ tidak boleh ditelantarkan.
Keberadaan regulasi ini menjadi
motor penggerak bagi daerah-daerah di sekitarnya. “Dengan adanya program itu
paling tidak dinkes di kabupaten/kota mempunyai dasar untuk mengajukan program
dan anggaran. Karena kalau tidak ada SPM-nya, kita mengajukan program apa
landasannya? Dengan SPM ini diharapkan bisa lebih berkembang,” kata Ida.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa
dari Rumah Sakit (RS) Sardjito Ronny Tri Wirasta mengatakan secara umum ada dua
kondisi gangguan jiwa, yaitu gangguan jiwa ringan dan berat. Gangguan jiwa
berat secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi di mana seseorang tidak
dapat membedakan realita dan fantasi.
Gangguan ini juga bisa muncul
ketika kehidupan seseorang terganggu, baik secara sosial, fungsional, maupun
diri pribadi. Misalnya tidak mampu mengurus diri, gamang bersosialisasi, dan
sebagainya. Gangguan ini juga dapat memunculkan ketidaknyamanan perasaan,
misalnya marah tanpa sebab, mengamuk, dan sebagainya.
“Jenis gangguan jiwa berat
bermacam-macam. Mulai yang paling berat skizofrenia. Ada pula psikotik akut,
waham menetap, depresi berat dengan gejala psikotik, manic dengan gejala
psikotik, bipolar dengan gejala afektif, banyak sekali,” kata Ronny.
Beberapa gejala dapat diamati
secara kasat mata. Misalnya kegamangan merawat diri serta perbedaan perilaku
yang mencolok. Gejala lain perlu dilihat melalui tes medis, misalnya untuk
mengukur tingkat stres hingga gangguan organik atau fungsional.
Gangguan jiwa berat melibatkan
tiga faktor penyebab, yaitu biologis, psikologis, dan sosial. faktor biologis,
misalnya ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak. Faktor psikologis
berkaitan dengan kepribadian pasien. Faktor sosial terkait dengan lingkungan
sekitar, misalnya bullying di sekolah, masalah dalam pekerjaan, tuntutan sosial
masyarakat, dan sebagainya.
Semua ODGJ berpeluang untuk
sembuh. Namun, peluang itu terkait dengan tiga faktor penyebab yang telah
disebutkan sebelumnya. Pengobatan juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
ketiga hal tersebut. Setiap ODGJ juga berpeluang untuk kambuh (relaps). Kasus
ini dapat terjadi karena ketidakpatuhan minum obat maupun kehadiran faktor
pemicu (stressor).
Gangguan jiwa berat berisiko
menurunkan kemampuan kognisi, misalnya untuk berpikir, mengingat, mengambil
keputusan, dan sebagainya. Gangguan kognisi akan berpengaruh pada kemampuan
bekerja. Akhirnya, ODGJ menjadi tidak produktif. Selain itu, akan timbul rasa
tidak nyaman. ODGJ dapat kehilangan kontrol terhadap perasaannya. Ia menjadi
kerap berprasangka dan sedih atau senang berlebihan.
Kasus bunuh diri juga muncul
pada ODGJ. Terkadang, ini terjadi tanpa disadari oleh pelaku. Sebagian ODGJ
mungkin merasa mendengar perintah untuk bunuh diri. Ada juga yang merasa ada
sesuatu yang masuk dalam dirinya dan memicu untuk bunuh diri.
Kasus ini tidak dapat
diprediksi. Ada yang terjadi begitu saja, ada pula yang disertai tanda-tanda.
Sebagian tanda yang perlu diwaspadai, misalnya ODGJ mulai menyendiri, mulai
berbicara tentang kematian, tentang akhir hidup, keputusasaan, dan sebagainya.
“Ada pula ODGJ yang membuat pesan tertulis tertentu,” kata Ronny.
Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
Grhasia Etty Kumolowati menyebutkan ada peningkatan kasus gangguan jiwa berat
cukup signifikan yang ditangani dalam beberapa tahun terakhir. Data
menunjukkan tren yang semakin muda. Namun, ia tak menyebutkan detail
penyebabnya.
“Saya khawatir, (trennya)
semakin muda-e. Kelompok umur tetap di atas 30 (tahun). Kasus anak-anak kalau
dihitung di bawah usia 18 tahun juga mulai muncul dengan kasus bipolar,” kata
Etty.
Bagi dia, ini merupakan kasus
serius yang suatu saat akan menjadi masalah besar. Gangguan jiwa berat umumnya
muncul di usia produktif. Setelah menjadi ODGJ, sebagian besar kehilangan
produktivitas.
“Satu
gangguan jiwa berat, dia sangat jarang yang bisa mandiri secara ekonomi. Jadi
kalau kita hitung potensial lost-nya, dengan 9.700 (ODGJ), kalikan saja dengan
UMP,” kata dia.
Dengan upah minimum provinsi
(UMP) 2017 sebesar Rp 1.337.645,25 dan data terbaru jumlah ODGJ 10.554 orang
(tidak termasuk Sleman), selama sebulan, potensi kerugian yang dialami
Pemerintah Provinsi DIY akibat ODGJ yang kehilangan produktivitas mencapai Rp 14.117.507.968,5.
Dalam setahun, jumlah itu mencapai Rp 169.410.195.662. Ini belum termasuk
pengobatan baik medis maupun non-medis.
Penelitian tentang besaran
biaya medis dan non-medis untuk gangguan jiwa berat tipe skizofrenia pernah
dilakukan tim Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan
(KPMAK) UGM. Dengan mengutip pernyataan profesor bidang kebijakan dan ekonomi,
Martin Richard John Knapp, Peneliti KPMAK UGM Dyah Ayu Puspandari mengatakan
skizofrenia merupakan penyakit kronis yang berkaitan signifikan dengan kondisi
kesehatan, sosial, dan beban keuangan, tidak hanya untuk pasien, tetapi juga
keluarga, caregiver, dan masyarakat luas. Hubungan antara kemiskinan dan
skizofrenia menjadi saling timbal balik.
Tak
hanya fasilitas kesehatan, pasien gangguan jiwa membutuhkan pembiayaan untuk
rehabilitasi agar mereka mampu kembali menjalankan fungsi ekonomi. Bagi yang
mampu kembali, biaya kambuh cukup tinggi. Skema pendanaan menjadi penting,
terutama untuk membiayai pengobatan jangka panjang, perawatan ketika kambuh,
rehabilitasi sosial, hingga mengobati masalah kesehatan lain.
“Sayangnya, yang bisa mengakses
layanan ini masih kurang dari 10 persen. Anggaran biaya kesehatan kurang dari
satu persen yang mengalir ke masalah kesehatan jiwa. Setelah ada jaminan pun,
belum tentu keluarga memanfaatkan layanan ini,” ujar Dyah.
Ia menjelaskan, biaya dibagi
menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. biaya langsung meliputi biaya
langsung medis dan biaya langsung nonmedis. Biaya langsung medis terkait dengan
rawat inap, rawat jalan, dan sebagian pengobatan efek samping serta pembelian
obat. Ada pula biaya pengobatan komplementer dan pengobatan efek samping,
serta pembelian obat di luar rumah sakit. Biaya langsung nonmedis meliputi
biaya konsumsi, biaya transportasi, biaya terkait dengan perilaku kriminal
pasien, biaya akomodasi, serta kerugian lainnya.
Biaya tidak langsung terdiri
dari kehilangan produktivitas yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas.
“Pada penelitian ini parameter yang digunakan adalah meningkatnya pengangguran,
penurunan produktivitas di tempat kerja akibat morbiditas, dan penurunan
produktivitas caregiver akibat kehilangan waktu,” kata Dyah.
Adapun total biaya langsung
medis untuk pasien gangguan jiwa di DIY mencapai Rp 9.504.548 per orang per
tahun. Proporsi terbesar ada pada biaya rawat inap, yaitu Rp 5.718.767 (60,17
persen). Total biaya nonmedis mencapai Rp 5.254.550 dengan proporsi tertinggi
pada biaya akomodasi sebesar Rp 1.618.075 (30,79 persen). Total biaya tidak
langsung mencapai Rp 27.414.044, didominasi biaya akibat pengangguan Rp
22.765.150 (83,04 persen).
Oleh: Sri
Handayani (Jurnalis Republika)
Sumber : Republika
Adakah no contact yg bisa dihubungi? Tetangga saya ODGJ dipasung, butuh bantuan...
ReplyDeleteSilahkan menghubungi nomor ini pada jam kerja (0274) 498141 dan minta disambungkan/berbicara kepada pekerja sosial nya, semoga membantu
ReplyDeleteThank you for writing tthis
ReplyDelete