Pages

Sunday, August 27, 2017

Download E-book: Pelestarian Nilai Kesetiakawanan Sosial



Kesetiakawanan sosial adalah nilai-nilai dan semangat kepedulian sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan atas dasar empati dan kasih sayang. (UU No.11 Tahun 2009 tetang Kesejahteraan Sosial). Buku ini berisi tentang latar belakang perlunya Kesetiakawanan Sosial. Kesetiakawanan sosial sendiri adalah bekal untuk membangun bangsa. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan rasa kepedulian dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Data Buku
Pengarang: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Kementerian Sosial

Tahun: 2011

Wednesday, August 23, 2017

Gerakan Stop Pemasungan


Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa telah me-launching kegiatan Gerakan Stop Pemasungan pada bulan Januari 2016 yang lalu. Hal ini didasari oleh masih tingginya pemasungan bagi penyandang disabilitas mental. Pemasungan terjadi karena masih rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang penyakit gangguan jiwa yang dialami oleh penyandang disabilitas mental. “Tujuan dari Gerakan Stop Pemasungan adalah untuk mencegah penyandang disabilitas mental mengalami pemasungan dan pemasungan kembali, serta mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial, sehingga fungsi sosialnya bisa pulih kembali,” ujar Khofifah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, lanjut Khofifah Kementerian Sosial RI cq. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas telah melaksanakan kegiatan-kegiatan pendukung, antara lain: penandatanganan komitmen dari 34 provinsi untuk mendukung gerakan stop pemasungan dan penandatanganan MOU antara Kemensos dengan Kemenkes, Kemendagri, POLRI, dan BPJS Kesehatan tentang pencegahan dan penanganan pemasungan bagi penyandang disabilitas mental (orang dengan gangguan jiwa).


Selain itu penjangkauan kasus pemasungan, penyediaan informasi tentang penyandang disabilitas dan kesehatan jiwa di domain rehabilitasi sosial, dan uji coba layanan rumah antara yang merupakan salah satu alternatif layanan yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas mental pasca rehabilitasi medik. Khofifah mengharapkan berbagai kegiatan yang sudah dilaksanakan di tingkat pusat tersebut dapat diikuti oleh pemerintah daerah dengan mereplikasi dan mengembangkan kegiatan-kegiatan sejenis di daerah masing-masing. Desryweni S, Penyusun Bahan Kesos RDPD.

Thursday, August 17, 2017

Upacara Bendera Memperingati HUT RI ke-72 di Balai RSBKL Yogyakarta Berlangsung Khidmat

Tanggal 17 Agustus merupakan tanggal yang sangat penting bagi tonggak sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, pada tanggal itulah Ir.Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Proses Pengibaran Bendera Sangsaka Merah Putih di Halaman Balai RSBKL Unit 2

Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras Yogyakarta mengadakan Upacara Bendera dalam rangka memperingati HUT RI ke-72 yang dilaksanakan serentak di dua unit pelayanan yaitu Balai RSBKL Unit 1 yang beralamatkan di Jl. Sidomulyo TRIV/369, Bener, Tegalrejo, Yogyakarta dan Balai RSBKL Unit 2 yang beralamatkan di Karangmojo, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Bertindak sebagai Pembina Upacara pada Balai RSBKL Unit 2 yaitu Bapak Drs. Rusdiyanto, MM selaku Kepala Balai RSBKL Yogyakarta dan Pembina Upacara pada Unit 1 yaitu Ibu Sri Lestari, S.ST, M.Si selaku Kepala Subbagian Tata Usaha Balai RSBKL Yogyakarta.

Proses Pengibaran Bendera Sangsaka Merah Putih di Halaman Balai RSBKL Unit 1

Upacara tersebut dihadiri oleh seluruh pegawai dan Warga Binaan Sosial di lingkungan Balai RSBKL Yogyakarta. Upacara Peringatan HUT RI ke-72 yang dilaksanakan di Unit 2 merupakan Upacara Peringatan HUT RI yang pertama kali dilaksanakan disana. Antusias dan semangat yang sangat tinggi diperlihatkan Warga Binaan Sosial Eks Psikotik di Balai RSBKL Unit 2 dimana mereka dapat melaksanakan Upacara dengan khidmat dan sukses menjalankan tanggungjawabnya sebagai petugas upacara.


Upacara Bendera di Halaman Balai RSBKL Unit 1

Dalam amanatnya, Pembina Upacara membacakan Pidato sambutan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang berisi tentang semangat para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pada era sekarang ini kita wajib mempertahankan kemerdekaan bangsa dengan berlandaskan Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dengan merujuk tema sentral Peringatan Tahun 2017 ini adalah “Indonesia Kerja Bersama” yang merupakan jalan keluar guna menuju Indonesia Baru yang makmur, sejahtera dan mandiri.

Upacara Bendera di Halaman Balai RSBKL Unit 2

Dalam memperluas tema tersebut di semua lini kehidupan, Bapak Kepala Balai RSBKL Yogyakarta turut berpesan kepada seluruh peserta upacara agar menjadikan nilai-nilai kejuangan yang diwariskan oleh para pahlawan sebagai sumber inspirasi dalam meningkatkan kinerja seraya terus berkreasi dan berinovasi terhadap kemajuan teknologi dan informasi.

Foto bersama Warga Binaan Sosial Eks Psikotik dan Pegawai di Balai RSBKL Unit 2

Mengakhiri sambutannya Bapak Kepala Balai RSBKL Yogyakarta mengajak seluruh pegawai di lingkungan Balai RSBKL Yogyakarta untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan pembangunan masa depan. Semoga dengan spirit “Indonesia Kerja Bersama” kita dapat memberikan pelayanan dan pengabdian yang sebaik-baiknya kepada Warga Binaan Sosial dan masyarakat dengan menjunjung tinggi kebersamaan, gotong royong dan saling menghargai.


Friday, August 11, 2017

Pelayanan Rehabilitasi Sosial BRSBKL Yogyakarta


PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL BRSBKL YOGYAKARTA

Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras (BRSBKL) Yogyakarta adalah salah satu UPTD dari Dinas Sosial DIY yang menangani permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng) dan eks psikotik atau juga bisa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Saat ini BRSBKL menangani warga binaan sosial sejumlah 300 orang, yang terdiri dari warga eks psikotik 250 orang dan warga gepeng 50 orang.
Adapun tempat pemberian rehabilitasi sosial ada di dua tempat, yaitu untuk warga gepeng berada di Jl. Sidomulyo TR IV/369, Bener, Tegalrejo, Yogyakarta dan untuk warga eks psikotik bertempat di Karangmojo, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
Bentuk Rehabilitasi Sosial di Balai RSBKL Yogyakarta untuk Warga Binaan Sosial Gepeng dan eks psikotik adalah bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Adapun jenis keterampilan tersebut adalah pertanian, perikanan, pertukangan (las, kayu, batu), menjahit, kerajinan tangan dan home industri. Selain itu warga juga disalurkan untuk usaha angkringan. Usaha Angkringan ini BRSBKL Yogyakarta bekerjasama dengan Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta.
Semua pelayanan rehabilitasi sosial ini bertujuan untuk bekal bagi para warga binaan sosial agar bisa hidup secara wajar dan mandiri.
Untuk waktu Pelayanan Rehabilitasi Sosial di BRSBKL Yogyakarta adalah selama 1 sampai 1,5 tahun. Setelah mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial, warga binaan yang mampu mengikuti keterampilan dengan baik, maka warga binaan sosial tersebut diberikan kesempatan untuk Paktek Kerja Lapangan di Dunia Usaha.

Diharapkan setelah mengikuti pelayanan rehabilitasi sosial, warga binaan sosial bisa lebih terampil, mandiri, dan bisa hidup secara layak di masyarakat.


Pemberian bimbingan sosial terhadap warga binaan sosial


Kerjasama antara BRSBKL Yogyakarta dengan Universitas PGRI Yogyakarta
untuk kegiatan Usaha Angkringan bagi Warga Binaan Sosial


Keterampilan pertukangan batu Warga Binaan Sosial


Hasil keterampilan pertanian Warga Binaan Sosial


Pekerja Sosial melaksanakan Monitoring dan Evaluasi terhadap warga Binaan Sosial yang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Bengkel Las 






Tuesday, August 8, 2017

WBS Gelandangan Pengemis Balai RSBKL DIY Per Juni 2017

Balai RSBKL DIY sebagaimana tugas dan fungsinya yaitu memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS gelandangan dan pengemis atau gepeng. Dengan kapasitas gepeng yang dapat dilayani setiap tahunnya sebanyak 50 orang. 50 orang gepeng yang ditangani tersebut memiliki identitas, profil, serta latar belakang yang berbeda-beda. Adapun profil dan data Warga Binaan Sosial (WBS) untuk kategori gepeng di Balai RSBKL DIY per Bulan Juni Tahun 2017 dapat dilihat pada grafik-grafik di bawah ini:






Pecandu Narkoba Rentan Alami Gangguan Jiwa



Semua tahu kalau penggunaan narkoba hanya merugikan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Namun, yang lebih mengejutkan ialah pecandu narkoba juga berpotensi lebih tinggi mengalami gangguan jiwa.

Begitulah yang disampaikan dr. Dyah Novita, dari Klikdokter.com saat menceritakan pengalaman selama koas di stase kejiwaan pada 2008 silam.

Kala itu, Dyah menghadapi pasien-pasien di rumah sakit jiwa swasta pertama di Indonesia, Sanatorium Dharmawangsa.

"Sanatorium beda sama Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan di Grogol. Kalau disini lebih banyak orang dari kalangan atas, anak-anaknya pejabat, anak hakim, ada juga artis dan model yang punya masalah kejiwaan," ungkapnya.

Umumnya, penyebab gangguan jiwa yang diketahui orang awam hanya stres dan depresi. Padahal, lebih dari itu.

Gangguan jiwa di antaranya cemas, depresi, psikotik atau skizofrenia, gangguan afektif (sering sedih, maniakal (respons berlebihan), banyak tertawa, banyak optimis, paranoid (suka curiga), hingga gangguan akibat zat tertentu (pecandu alkohol dan narkoba).

Menurut Vita, gangguan jiwa yang tingkatnya paling tinggi diakibatkan oleh penggunaan narkoba.

"Kalau (gangguan jiwa) disebabkan drugs, itu levelnya sudah paling atas karena dia sudah mempengaruhi saraf dan otak, jadi agak susah sembuhnya," ujarnya kepada Health-Liputan6.com, ditulis Sabtu (17/6/2017).

Vita menjelaskan, pengobatan pasien sakit jiwa karena narkoba membutuhkan waktu dan pengobatan oral serta terapi lebih lama. Belum lagi ada obat khusus untuk mengatasi ketergantungan obat.

"Pengobatannya jauh lebih intensif dan obat minumnya itu bisa merusak gigi," ujarnya. Bahkan pecandu narkoba yang sudah akut biasanya mengalami putusnya saraf dan sel otak.

Efek gangguan jiwa karena narkoba, menurut Vita tidak selalu sama pada tiap individu. Ada yang marah-marah, tidak bisa tidur, bicara sendiri, diam saja, bahkan mengamuk. Tapi, kata Vita, pasien yang tingkat gangguan jiwanya belum tinggi, mereka masih bisa diajak mengobrol.

"Mereka yang sadar punya gangguan jiwa biasanya kalau lagi kumat, stay beberapa hari atau maksimal dua minggu. Kalau sudah enak dan normal ya mereka pulang," dia menceritakan.


Di Sanatorium Dharmawangsa, tambah Vita, ada layanan rawat inap berkelas ekonomi sampai kelas VIP. Di sana juga menyediakan layanan tes kepribadian dan kejiwaan yang terbuka umum.

Sumber: Liputan6.com

Monday, August 7, 2017

Layanan Informasi Kehilangan


Sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial yang menerima rujukan kelayan atau Warga Binaan Sosial (WBS) dari Camp Assesmen, Balai RSBKL DIY menjadi salah satu lembaga yang menangani orang-orang terlantar khususnya orang yang mengalami gangguan jiwa yang terjaring razia Dinas Ketertiban. Di lembaga kami terdapat cukup banyak kelayan atau WBS yang tidak memiliki identitas, telah lama tidak bertemu keluarganya dan bahkan tidak mengetahui alamat dan riwayat hidupnya dikarenakan gangguan ingatan yang dialami mereka. 

Oleh karena itu, Kami selaku Lembaga Kesejahteraan Sosial yang selama ini menangani orang-orang terlantar di wilayah DIY, memberikan kesempatan kepada Anda ataupun pihak-pihak terkait baik di wilayah DIY maupun luar DIY untuk membantu mencari informasi kehilangan orang. Kami memberikan layanan bagi masyarakat yang merasa kehilangan keluarga ataupun kerabat dekatnya untuk mencari informasi di lembaga Kami, barangkali orang/kelurga/kerabat yang hilang tersebut ada di lembaga Kami. Selain itu, Kami juga memberikan bantuan berupa pencantuman berita kehilangan orang yang nantinya dimuat di media sosial kami.

Adapun prosedur layanan informasi kehilangan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Anda yang mencoba mencari informasi orang hilang ke lembaga Kami, pertama-tama dapat menghubingi kami via online melalui media sosial kami ataupun fasilitas chatting yang kami sediakan di blog ini.
2. Setelah ada petunjuk atau kejelasan dari hasil komunikasi (adanya kejelasan dan kemiripan data) antara lembaga Kami dan pihak pencari, maka kami baru bersedia memberikan data kelayan atau WBS yang sesuai dengan data hasil komunikasi tersebut.
3. Lembaga kami tidak dapat memberikan informasi detail secara online terkait data orang hilang yang kemungkinan ada di tempat kami, sebelum adanya persetujuan dan komunikasi yang jelas. 
4. Apabila informasi dan data orang hilang yang dicari tersebut sesuai dengan informasi dan data yang Kami miliki, untuk kelanjutannya khususnya pemulangan dan reunifikasi menunggu kesepakatan  yang akan dikoordinasikan selanjutnya.
5. Bagi Anda yang membutuhkan bantuan untuk pencantuman berita kehilangan, maka Anda dapat mengirimka data orang hilang tersebut kepada kami melalui fasilitas chat terlebih dahuku yang kemudian file atau data tersebut dikirim melalui email ataupun media sosial kami.
6. Bagi Anda yang membutuhkan informasi lainnya yang belum tercantum dalam tulisan ini, dapat menghubungi kami lewat chat, telepon, email, ataupun media sosial Kami.

Produk Hasil Bimbingan Pertanian

Balai RSBKL DIY mempunyai program bimbingan keterampilan pertanian. Untuk sementara program ini baru diperuntukkan bagi Warga Binaan Sosial (WBS) Gelandangan Pengemis. Kami memberikan bimbingan pertanian berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman sayur, buah-buahan, rempah-rempah dan sebagainya. Setiap kali panen, lembaga Kami selalu berusaha untuk memasarkan produk-produk hasil pertanian kepada masyarakat, di mana konsep setiap bimbingan yang Kami berikan untuk para WBS adalah dari WBS oleh WBS dan untuk WBS, tidak terkecuali dalam bimbingan pertanian ini. Lembaga Kami dalam hal ini berperan untuk membantu proses pemasaran hasil karya/produk dari bimbingan pertanian ini. Kami menawarkan produk-produk dengan harga yang lebih murah dari harga pasaran dengan kualitas yang sama.   


Bibit tanaman rempah-rempah yang tersedia selalu Kami display di depan balai.







Bagi Anda yang berminat dengan produk pertanian Kami, dapat menghubungi Kami via online (chat, email, dan media sosial), via telepon, maupun kunjungan langsung ke lembaga Kami.

Sunday, August 6, 2017

Mengapa Kasus Gangguan Jiwa di Yogyakarta Tinggi?

Kampanye peduli skizofrenia dari KPSI Yogyakarta dan Akindo.
Kampanye peduli skizofrenia dari KPSI Yogyakarta dan Akindo.

“Saya cukup prihatin. Meskipun lagu kebangsaan berkata bangunlah jiwanya, baru bangun badannya, tapi ternyata keberpihakan itu masih kurang. Kita masih hanya berpikir mati-hidup. Kematian ibu, kematian bayi. Kalau kita lihat indeks pembangunan kesehatan manusia, angka gangguan jiwa belum menjadi indikator.  (Direktur RSJ Grhasia Etty Kumolowati)”

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah lama menjadi kota impian tempat tinggal sebagian masyarakat Indonesia. Nilai kultural yang tinggi didukung banyaknya sekolah dan kampus berkualitas di wilayah ini membuat DIY patut menyandang status kota budaya dan kota pendidikan selama puluhan tahun.

Kita boleh berharap dengan adanya kedua status tersebut, DIY mampu menghasilkan sumber daya manusia berkualitas, terutama secara kultural dan akademis. Ironisnya, dua daerah istimewa di Indonesia, yaitu DIY dan Daerah Istimewa Aceh (DIA), justru menjadi kontributor tertinggi kasus gangguan jiwa berat di Indonesia.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, DIY dan DIA memiliki prevalensi  gangguan jiwa berat 2,7 per mil. Kulonprogo menempati kasus teratas dengan prevalensi 4.67, disusul Bantul 4.0, dan Kota Yogyakarta 2.14. Walaupun berada di posisi keempat, namun Gunungkidul disinyalir memiliki banyak kasus gangguan jiwa yang tak terungkap. Dari data yang ada dapat diperkirakan ada 2-3 penderita gangguan jiwa berat di antara 1.000 penduduk DIY. Total jumlah ODGJ di DIY diperkirakan mencapai 9.862 orang.

Gangguan jiwa berat merupakan masalah kesehatan yang serius. Butuh waktu lama untuk bisa pulih. Karena itu pula, jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) cenderung terus bertambah. Data rutin Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY pada 2015 telah menunjukkan angka sebesar 10.993 ODGJ. Di tahun 2016, jumlah itu menjadi 10.554 orang, belum termasuk Kabupaten Sleman.  

Kepala Dinkes DIY Pembayun Setyaningastutie mengatakan tingginya kasus gangguan jiwa berat di DIY dan DIA  tak lepas dari bencana alam besar yang pernah terjadi di kedua wilayah tersebut. Setelah terjadi gempa bumi pada 2010 di DIY, identifikasi dan pencatatan kasus-kasus potensi terjadinya gangguan jiwa dilakukan oleh pemerinah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sasaran utama merupakan korban bencana, khususnya di Bantul, serta masyarakat DIY secara umum.

“Hasilnya, penanganan secara dini dan recovery mental masyarakat DIY menjadi lebih cepat dan tepat,” kata Pembayun.

Jika menelisik lebih dalam lagi, gangguan jiwa berat juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan beban hidup yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Menurut Pembayun, gaya hidup dapat menjelma menjadi tuntutan sosial yang pada akhirnya menjadi beban hidup bagi sebagian penduduk yang tak dapat memenuhi.

Sebagai contoh, telepon genggam menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Di sisi lain, ini juga menjadi mode. Kepemilikan telepon genggam menuntut kebutuhan baru, baik untuk memenuhi kebutuhan pulsa, paket data, maupun pembelian unit baru agar tak ketinggalan zaman. Bagi yang tak dapat mengikuti, ini akan menjadi beban.

Kondisi ini didukung dengan aspek budaya masyarakat DIY yang terkenal santun. Tak elok menunjukkan beban kepada orang lain, sehingga banyak dari mereka memilih memendam bebannya sendiri. Bila tidak kuat, hal ini bisa menjadi potensi timbulnya stres  dan depresi yang dapat berkembang menjadi gangguan jiwa berat.

Ironi lain muncul ketika kita melihat status DIY sebagai kota pelajar dengan kualitas pendidikan yang tinggi. Sayangnya, lahan pekerjaan di kota ini tak memadai untuk menampung lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang kian tahun terus bertambah. Ini juga menjadi salah satu kontributor yang memicu stres atau gangguan jiwa.

Pendapat ini didukung oleh pernyataan Kepala Dinas Kesehatan (Dinsos) DIY Untung Sukaryadi. Ia mengatakan modernisasi mendadak yang menimbulkan keguncangan budaya (shock culture) memicu beban mental bagi sebagian masyarakat. Dengan tingkat intelektualitas yang belum siap, mereka akhirnya mengalami gangguan jiwa. 

“Tekanan keluarga dan masyarakat itu turunannya. Tekannya malu, nggak kuat batin, sudah kehilangan muka,” kata dia. 

Di Dinsos DIY, warga binaan lanjut usia (lansia) mendominasi jumlah gelandangan psikotik. Untung mengatakan keluarga perlu menyadari risiko gangguan jiwa pada lansia. Adanya post power syndrome merupakan hal wajar yang sering kali luput dari perhatian. Orang tua yang biasanya mampu memerintah anak-anaknya kini mulai kehilangan kekuasaan. Bahkan, sebagian dari mereka harus bergantung pada anak dan cucu. Ini menimbulkan beban psikologis bagi mereka.

Menurut Untung, tingginya kasus gangguan jiwa di Yogyakarta juga tak lepas dari kontribusi daerah-daerah sekitar. Jumlah gelandangan psikotik dari luar DIY mencapai 60-70 persen. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial dan Korban Napza Baried Wibawa bahkan menyebutkan 80 persen.

“Tapi kan karena aspek kemanusiaan, kita tangani. Di kemudian hari cepat kita rujuk, kita pulangkan,” ujar Untung.  

Menurut Untung, ada indikasi pengalihan tanggung jawab dari daerah-daerah di sekitar DIY. Beberapa indikasi yang dimaksud, di antaranya kemunculan ODGJ pada saat bersamaan di wilayah tertentu. Mereka ditemukan di daerah perbatasan, misalnya Jalan Magelang dan Jalan Godean. Walaupun sudah dilakukan razia rutin, keberadaan mereka seakan tak pernah habis.

Baried membenarkan keterangan ini. “Misal di Godean, kadang sudah bersih. Tapi tiba-tiba ada 2-4 orang ditemukan bersama-sama masih lengkap dengan kresek besar. Pernah juga ada yang melapor ke saya, ibu rumah tangga. Ada mobil boks yang mengeluarkan orang-orang ini,” kata Baried. 

Padahal, menurut Baried, sejatinya dalam rapat mitra praja utama yang dihadiri para kepala dinas, telah ada 10 provinsi yang berkomitmen tidak saling melempar tanggung jawab dalam penanganan ODGJ. Kesepuluh provinsi itu adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 

Keterangan ini juga didukung pengakuan Pendiri Pondok Pesantren (PP) al-Qodir, Cangkringan, Yogyakarta, KH Masrur Ahmad MZ. Ia mengaku pernah mengikuti mobil yang membawa ODGJ dan mendapati ada yang dilepaskan dari Solo ke Yogyakarta. 

Menurut Masrur, pembuangan semacam ini berdampak buruk terhadap ODGJ. Pengalaman mereka dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain membuat mereka bingung. Belum lagi bermacam perlakuan yang mereka dapatkan selama dalam pembuangan. Ini memperparah kondisi mereka, sehingga semakin sulit disembuhkan. “Orang tidak sakit saja kalau misal tidur terus dilepas di daerah lain, kan bingung,” kata dia. 

Peneliti Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Sri Idaiani mengakui adanya keterbatasan data untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengapa kasus gangguan jiwa berat di Indonesia tinggi. Sebab, tidak banyak hasil penelitian tentang gangguan jiwa. Selain membutuhkan waktu lama, penelitian di bidang ini memerlukan upaya yang intensif. Perlu waktu lebih lama untuk mendiagnosa gangguan kejiwaan yang dialami seseorang maupun penyebabnya. Upaya ini juga perlu memerlukan pendekatan yang sangat individual.

Akibatnya, sulit menjawab dengan pasti mengapa kasus gangguan jiwa berat di DIY paling tinggi. “Mungkin di sana memang paling tinggi, atau mungkin di sana ada banyak yang bisa mendeteksi, kesadaran yang lebih tinggi, sehingga ketika ada keluarga yang terindikasi gangguan jiwa langsung dilaporkan. Sehingga datanya banyak, padahal mereka itu ya yang aware,” kata Peneliti Kemenkes Sri Idaiani.

Selain itu, di tingkat kementerian, isu kesehatan jiwa juga belum lama menjadi prioritas. Dahulu titik berat penanganan kesehatan hanya mengacu pada Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) dan isu pertembakauan. Akhir-akhir ini kesehatan jiwa mulai mendapat perhatian karena telah masuk dalam standar pelayanan minimum (SPM). Pada 2014, Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa disahkan. Dalam Indikator Keluarga Sehat 2016 juga disebutkan bahwa ODGJ tidak boleh ditelantarkan.

Keberadaan regulasi ini menjadi motor penggerak bagi daerah-daerah di sekitarnya. “Dengan adanya program itu paling tidak dinkes di kabupaten/kota mempunyai dasar untuk mengajukan program dan anggaran. Karena kalau tidak ada SPM-nya, kita mengajukan program apa landasannya? Dengan SPM ini diharapkan bisa lebih berkembang,” kata Ida.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit (RS) Sardjito Ronny Tri Wirasta mengatakan secara umum ada dua kondisi gangguan jiwa, yaitu gangguan jiwa ringan dan berat. Gangguan jiwa berat secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi di mana seseorang tidak dapat membedakan realita dan fantasi.

Gangguan ini juga bisa muncul ketika kehidupan seseorang terganggu, baik secara sosial, fungsional, maupun diri pribadi. Misalnya tidak mampu mengurus diri, gamang bersosialisasi, dan sebagainya. Gangguan ini juga dapat memunculkan ketidaknyamanan perasaan, misalnya marah tanpa sebab, mengamuk, dan sebagainya.

“Jenis gangguan jiwa berat bermacam-macam. Mulai yang paling berat skizofrenia. Ada pula psikotik akut, waham menetap, depresi berat dengan gejala psikotik, manic dengan gejala psikotik, bipolar dengan gejala afektif, banyak sekali,” kata Ronny.

Beberapa gejala dapat diamati secara kasat mata. Misalnya kegamangan merawat diri serta perbedaan perilaku yang mencolok. Gejala lain perlu dilihat melalui tes medis, misalnya untuk mengukur tingkat stres hingga gangguan organik atau fungsional.

Gangguan jiwa berat melibatkan tiga faktor penyebab, yaitu biologis, psikologis, dan sosial. faktor biologis, misalnya ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak. Faktor psikologis berkaitan dengan kepribadian pasien. Faktor sosial terkait dengan lingkungan sekitar, misalnya bullying di sekolah, masalah dalam pekerjaan, tuntutan sosial masyarakat, dan sebagainya.

Semua ODGJ berpeluang untuk sembuh. Namun, peluang itu terkait dengan tiga faktor penyebab yang telah disebutkan sebelumnya. Pengobatan juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut. Setiap ODGJ juga berpeluang untuk kambuh (relaps). Kasus ini dapat terjadi karena ketidakpatuhan minum obat maupun kehadiran faktor pemicu (stressor).

Gangguan jiwa berat berisiko menurunkan kemampuan kognisi, misalnya untuk berpikir, mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya. Gangguan kognisi akan berpengaruh pada kemampuan bekerja. Akhirnya, ODGJ menjadi tidak produktif. Selain itu, akan timbul rasa tidak nyaman. ODGJ dapat kehilangan kontrol terhadap perasaannya. Ia menjadi kerap berprasangka dan sedih atau senang berlebihan.

Kasus bunuh diri juga muncul pada ODGJ. Terkadang, ini terjadi tanpa disadari oleh pelaku. Sebagian ODGJ mungkin merasa mendengar perintah untuk bunuh diri. Ada juga yang merasa ada sesuatu yang masuk dalam dirinya dan memicu untuk bunuh diri.

Kasus ini tidak dapat diprediksi. Ada yang terjadi begitu saja, ada pula yang disertai tanda-tanda. Sebagian tanda yang perlu diwaspadai, misalnya ODGJ mulai menyendiri, mulai berbicara tentang kematian, tentang akhir hidup, keputusasaan, dan sebagainya. “Ada pula ODGJ yang membuat pesan tertulis tertentu,” kata Ronny.  

Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia Etty Kumolowati menyebutkan ada peningkatan kasus gangguan jiwa berat cukup signifikan yang ditangani dalam beberapa tahun terakhir.  Data menunjukkan tren yang semakin muda. Namun, ia tak menyebutkan detail penyebabnya.

“Saya khawatir, (trennya) semakin muda-e. Kelompok umur tetap di atas 30 (tahun). Kasus anak-anak kalau dihitung di bawah usia 18 tahun juga mulai muncul dengan kasus bipolar,” kata Etty.

Bagi dia, ini merupakan kasus serius yang suatu saat akan menjadi masalah besar. Gangguan jiwa berat umumnya muncul di usia produktif. Setelah menjadi ODGJ, sebagian besar kehilangan produktivitas. 

“Satu gangguan jiwa berat, dia sangat jarang yang bisa mandiri secara ekonomi. Jadi kalau kita hitung potensial lost-nya, dengan 9.700 (ODGJ), kalikan saja dengan UMP,” kata dia. 

Dengan upah minimum provinsi (UMP) 2017 sebesar Rp 1.337.645,25 dan data terbaru jumlah ODGJ 10.554 orang (tidak termasuk Sleman), selama sebulan, potensi kerugian yang dialami Pemerintah Provinsi DIY akibat ODGJ yang kehilangan produktivitas mencapai Rp 14.117.507.968,5. Dalam setahun, jumlah itu mencapai Rp 169.410.195.662. Ini belum termasuk pengobatan baik medis maupun non-medis.

Penelitian tentang besaran biaya medis dan non-medis untuk gangguan jiwa berat tipe skizofrenia pernah dilakukan tim Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) UGM. Dengan mengutip pernyataan profesor bidang kebijakan dan ekonomi, Martin Richard John Knapp, Peneliti KPMAK UGM Dyah Ayu Puspandari mengatakan skizofrenia merupakan penyakit kronis yang berkaitan signifikan dengan kondisi kesehatan, sosial, dan beban keuangan, tidak hanya untuk pasien, tetapi juga keluarga, caregiver, dan masyarakat luas. Hubungan antara kemiskinan dan skizofrenia menjadi saling timbal balik.

Tak hanya fasilitas kesehatan, pasien gangguan jiwa membutuhkan pembiayaan untuk rehabilitasi agar mereka mampu kembali menjalankan fungsi ekonomi. Bagi yang mampu kembali, biaya kambuh cukup tinggi. Skema pendanaan menjadi penting, terutama untuk membiayai pengobatan jangka panjang, perawatan ketika kambuh, rehabilitasi sosial, hingga mengobati masalah kesehatan lain.

“Sayangnya, yang bisa mengakses layanan ini masih kurang dari 10 persen. Anggaran biaya kesehatan kurang dari satu persen yang mengalir ke masalah kesehatan jiwa. Setelah ada jaminan pun, belum tentu keluarga memanfaatkan layanan ini,” ujar Dyah.

Ia menjelaskan, biaya dibagi menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. biaya langsung meliputi biaya langsung medis dan biaya langsung nonmedis. Biaya langsung medis terkait dengan rawat inap, rawat jalan, dan sebagian pengobatan efek samping serta pembelian obat.  Ada pula biaya pengobatan komplementer dan pengobatan efek samping, serta pembelian obat di luar rumah sakit. Biaya langsung nonmedis meliputi biaya konsumsi, biaya transportasi, biaya terkait dengan perilaku kriminal pasien, biaya akomodasi, serta kerugian lainnya.

Biaya tidak langsung terdiri dari kehilangan produktivitas yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas. “Pada penelitian ini parameter yang digunakan adalah meningkatnya pengangguran, penurunan produktivitas di tempat kerja akibat morbiditas, dan penurunan produktivitas caregiver akibat kehilangan waktu,” kata Dyah.

Adapun total biaya langsung medis untuk pasien gangguan jiwa di DIY mencapai Rp 9.504.548 per orang per tahun. Proporsi terbesar ada pada biaya rawat inap, yaitu Rp 5.718.767 (60,17 persen). Total biaya nonmedis mencapai Rp 5.254.550 dengan proporsi tertinggi pada biaya akomodasi sebesar Rp 1.618.075 (30,79 persen). Total biaya tidak langsung mencapai Rp 27.414.044, didominasi biaya akibat pengangguan Rp 22.765.150 (83,04 persen). 

Oleh: Sri Handayani (Jurnalis Republika)

Sumber : Republika